Friday, April 29, 2011

SENYUM ITU???

SENYUM ITU??? Siang yang begitu terik, namun air mataku terus mengalir seperti hujan di luar sana, amat deras dibarengi guntur yang menggelegar, layaknya hatiku sat ini yang tak mau berhenti tuk menjerit. Sudah tiga bungkus tissue looney aku habiskan, namun air mata ini tetap saja tidak mau berhenti mengalir dari mataku. membuat mataku semakin sembab. Dalam balutan busana putih ini, aku termenung sendiri di kamar memikirkan nasib dan kehidupanku yang akan terjadi nanti dan esok hari. Aku yang akan menjadi milik seseorang yang aku belum pernah mengenal sebelumnya, yang aku hanya tahu lewat selembar foto yang ibu berikan padaku seminggu yang lalu. Gambar seorang laki-laki yang tak pernah ku sangka sebelumnya. Aku teringat kan seseorang yang sudah kunantikan enam tahun yang lalu, yang sekarang entah di mana,aku tak tahu keberadaanya. Mungkin dia sudah memiliki sang bidadari di kehidupanya. Kenangan itu entah hilang kemana. aku kini hanya bisa pasrah atas apa yang telah menimpaku. Setelah beberapa lamaran aku tolak, dengan alasan masih kuliah, sibuk bekerja, dan banyak alasan lain yang akau ajukan. Namun, sekarang sudah lulus sarjana psikologi islam setahun yang lalu. Karena ketidak sabaran orang tuakau untuk menimang cucu, dan juga tuntuan tradisi, statusku sebagai anak sulung perempuan tidak boleh terlalu lama menyandang status perawan, dikarenakan aku juga mempunyai seorang adik perempuan yang sudah berajak dewasa. Akhirnya ayahku memaksakau untuk menerima lamaran itu, untuk menikah dengn orang yang begitu asing bagiku, putra dari sahabat ayahku semasa tinggal di pesantren dulu. Kenangan pun hanya tinggal kenangan. seperti abu yang yang berserakan, tak bisa ku raih lagi. Orang yang aku tunggu-tunggu selama sejak masa aku masih memakai seragam abu-abu, kini entah hilang kemana. Enam tahun sudah akau tak pernah lagi bertemu denganya. tak ada kabar sedikitpun. “Susan, kamu sudah siap?”, pertanyaan mamah menggugahku dari lamunan panjangku. “Iyah mah”, jawabku. “Sudahlah san, maafin mamah yah, mamah belum bisa memberikan yang tebaik buat kamu. Maafkan sikap ayahmu yah.” “Mamah....”, aku pun tak kuasa menahan air mataku, kupeluk ibuku erat. “Ngga apa-apa ko mah, susan ikhlas, asal mamah sama papah bisa bahagia, susan pasti juga bahagia.” “makasih yah sayang. Ya udah, sekarang kamu tenangin diri dulu yah, setengah jam lagi keluarga ibu Rosmina akan segera sampai. kamu harus terlihat cantik yah.” “iyah mah.”, jawabku singkat. “Ya udah, sekarang hapus dulu air mata kamu. ini hanya khitbah biasa ko, ngga langsung nikah. Jadi kamu masih punya waktu untuk mengenali nak ihsan dengan baik. Insya alloh.” “Iyah mah.” “Anak mamah harus tegar, dan selalu senyum biar cantik. yah!!” “Iyah mamah...susan baik-baik ajah ko.” “Ya sudah mamah keluar dulu yah, nanti kalau sudah datang mamah panggil. Sekarang usap dulu air matanya dan tenangin diri kamu yah.” “iyah mah.” Mamah pun keluar dari kamarku. Aku kembali termenung sendiriann di kamar. Terlintas kembali semua angan-anganku yang lebur barusan. terkenang lagi masa-masa MA-ku. Saat aku mengenalnya, hingga harapanku untuk bisa membangun sebuah keluarga yang ideal denganya. Namun semua itu berubah sejak kita mulai memilih jalan kita masing-maasing. Dia melanjutkan belanjarnya disebuah pesantren salafi setelah lulus dari sekolah. Sedangkan aku melanjutkan belajarku di sbuah perguruan tinggi di jawa barat. Tak ada lagi kontak dan komunikasi diantara kami. Hingga sampai tiga tahun yang lalu, aku dengar dari adik kelasku semasa belajar di pesantren dulu, bahwa telah ada wanita lain yang minta dikhitbah olehnya. Pupus sudah semua harapanku padanya saat itu. Semua itu terkubur dalam di hatiku. “Ka, ka, boleh masuk?”, Aini adiku memanggilku dari luar kamar. “Iyah”, jawabku sambil menghapus sisa-sisa air mataku. “Ka keluarga ka ihsan udah sampai tuh, dah di halaman.” Terdendar suara gemuruh mobil memasuki halaman rumah memang. Hatikupun semakin bergetar tak karuan. Aku semakin tak bisa menahan air mataku. “Ka, kenapa menangis?”, adiku yang tak tahu duduk peramasalahanya bertanya padaku. “Ngga apa-apa sayang. kaka cuma gerogi ajah ko.”, jawabku bohong. “Ka, jangan menangis nanti make-upnya luntur. nanti ka ihsanya ngga jadi lagi ngehitbahnya, ngga jadi punya kaka baru. hehe...”, candanya. Ah, aku ngga peduli make-upku mau hancur kaya gimana juga. Aku malahan seneng kalau ka iihsan itu ngga jadi ngehitbah aku.hehe... pikirku dalam hati. “ngga sayang...kaka khan cantik, biarpun make-upnya luntur, hati kaka ngga bakalan ikut luntur juga,tetep cantik. Jadi ka ihsanya juga ngga bakal ngebatalin.”, candaku menyembunyikan kesedihan. “Iya deh, kakaku tersayang emang cantik lahir batin.” “amiin...” “Yuk ka ke bawah, kasihan keluarga ka ihsan nanti nunggunya lama.” Aku pun berdiri dibantu adiku yang manis ini. Serasa tak ada sedikitpun tenaga untuk melangkah. Kakiku terasa lemas bagai tak bertulang. Tangan terasa tak punya daya tuk memegang apapun. Aku terus diam dalam gandengan tangan adiku menuju pintu kamar. Langkah kakiku begitu berat untuk sendiri melangkah keluar kamar. Huatiku terasa kosong , pikiranku entah kemana. Hanya hamparan padang rumput panas yang terlintas dalam pikiranku, yang begitu panas namun gelap. Tak ada seorang pun yang memyelamatkan dan menemukanku di sana. Akupun berjalan menuruni tangga bersama adiku. Aku berjalan sendirian di padang itu. Tak ada tempat untuk berlindung. Aku tak tahu harus melangkah ke mana. Adiku terus menuntunku. Hingga sampai tepat di siku tangga, aku lihat ibu tersenyum padaku. Sedang ayah berbincang-bincang dngan keluarga sang tamu terhormat. Aku melihat seorang laki-laki memakai jacket hitam, berambut cepak berbelah tengah memunggungiku. Apakah itu ka ihsan? Bukankah di foto rambutnya panjang. Tapi tak ku lihat ada laki-laki muda selain dia. Aku mulai ragu. Diakah orangnya? Kenapa aku seperti faham tegap bahunya. Dan aku juga seperti kenal gaya menengadah dan duduknya. “Ka?”, adiku mengagetkanku yang berhenti secara tiba-tiba. “Ayoo ka...”, ajaknya lagi. “Nanti dulu de ah, ngga enak ayah masih asyik ngobrolnya, nanti malah keganggu sama kehadiran kita.” “Ngga apa apa ka, ibu udah nyuruh kita turun tuh.” Aku pun menuruti saja perintah adiku. Aku memaksakan kakiku menuruni sisa-sisa anak tangga yang hanya tinggal lima lagi. Aku masih memikirkan orang yang memunggungiku itu. Siapakah dia, kenapa aku seperti mengenalnya. Tapi aku tak berani tuk menampakan wajahku. Aku tertunduk memandangi lantai rumahku yang berwarna pink. Ritme berjalanku terasa begitu lambat, tak seperti biasanya. Aku yang selalu berjalan cepat seperti sedang dikejar-kejar sesuatu. Inilah salah satu pembelajaran kedisiplinan keluargaku. Kami diharuskan untuk selalu bertindak cepat, tidak menunda-nunda sesuatu, dalam hal apapun. Aku terus menyusuri anak tangga yang terakhir. Sampailah kami di ruangan tempat kedua keluarga berkumpul. Dan orang itu masih memunggungiku. Aku masih menunduk. “Nah ini susan anaku, sarjana psikologi islam’, ayah memperkenalkanku. Aku masih menunduk, tak berani melihat laki-laki itu. Aku hanya berani memandang dan tersenyum pada ibu sang tamu. “oh iyah...wah cantiknya, sudah sedewasa ini. Ihsan pasti tidak akan menyesal sudah memilihnya.”, jawab sang ibu tamu. “Alhamdulillah...”, jawab mamah. “ayo sini susan! Aini ajak kakamu ke sini.” Akupun menghampiri ibu dan duduk di sebelahnya. Aku masih menunduk, belum berani untuk menatap laki-laki itu. Siapakah dia? Kenapa belum ada laki-laki lain yang datang. Benarkah laki-laki itu ka ihsan? Syakauwtu ilaa wakiiri, suuu’a hifdzi. Wa’arsyadani ‘an ta’til maa’asyi.... Tiba-tiba terdengar nada dering lagunya Talib al-Habib, knowledge is light. Aku pun memberanikan diri untuk melihat, suara hp siapakah itu. Bukanya hp-ku di tinggal di kamar. kenapa sampai ke sini bunyi nada deringnya. Namun saat aku mengedahkan wajahku. Aku tak tahu, apakah ini mimpi ataukah kenyataan. Dia yang beranjak meninggalakan ruangan untuk mengngkat telepon barusan. Dia yang tak berani aku lihat tadi. Dia yang ku kenal puggung dan bahunya.” Senyumnya....ya Alloh...senyum itu? Mimpikah aku?”, tanyaku dalam hati. Dia, orang yang aku tunggu selama enam tahun. Yang ku kira sudah dimiliki oleh bidadari lain. Yang telah hilang entah ke mana. Yang ku kira aku telah kehilanganya untuk selamanya. Yang ku kira aku tak boleh untuk mengharapkanya lagi. Ka Akmal, kaka kelasku saat masih aliyah dulu. Kita terpaut tiga tahun. Dia, orang yang membuatku mengerti akan makna cinta yang sebenarnya. Cinta yang hanya karena Alloh semata, tak mengharapkan nafsu. Dia yang selalu kucoba kubur dalam ingatanku. Kucoba tuk tidak memikirkanya lagi. Yang telah kucoba tuk mengikhlaskan keinginan orang tuaku. Ya Alloh,,, apakah makna dari semua ini. Benarkah dia orangnya. Benarkah dia yang akan ayah jodohkan padaku. Bukankah rambutnya gondrong. Tapi jika diperhatikan, wajahnya memang ngga jauh beda dengan yang di foto. Namun, kenapa aku tak kenal bentuk hidung dan matanya, yang dulu sempat membuatku tak bisa tidur semalaman. Senyumnyalah yang membuatku mengingat semuanya,saat dia meninggalkan ruangan tadi. Senyum yang takan pernah luput dari ingatanku. Benarkah dia orangnya. Orang yang akan menjadi imamku sampai akhir hayat nanti? Orang yang akan mengisi sisa umurku nanti. Insya Alloh. “Kenapa ihsan, apa kata budemu?”, tanya Ibu Rosmina pada anaknya. “Ngga apa-apa mah. Kata bude maaf ngga bias hadir, ada keperluan luar kota yang ngga bisa di tinggal.”, jawabmya. “Oh iyah. Kamu bilang ngga apa-apa khan?” “iyah mah.” “ Ya udah pah, mulai ajah sekrang!”, perintah bu rosmina pada suaminya. “Iyah mah.”, jawab sang suami. Akhirnya sang ayah dari keluarga tamu pun mengungkapkan tujuan kedatangan mereka dengan singkat dan jelas. Sekrang tibalah giliranku untuk menjawab tujuan mereka. Setelah sebelumnya ayah menjawab dengan sederhana, namun kemudian segala keputusan dikambalikan padaku. “Bismillahirrohmaniirohiim. Dengan menyebut nama alloh yang maha sengalanya. Aku menerima khitbah ini dengan hati yang ikhlas.”, jawabku agak gugup. “Alhamdulillah....”, semua serentak mengucapkan syukur setelah mendengar jawabanku. Termasuk ka akmal. Setelah acara pengungkapan tujuan perkunjungan selesai, ayah pun mengajak semuanya untuk segera menyantap makan siang yang sudah ibu siapkan sejak pagi tadi. *** Setelah selesai makan dan sholat, kedua kelurga pun berkimpul lagi di ruang tamu sekedar untuk ngobrol-ngobrol santai dan juga melepas kerinduan stelah bertahun-tahun terputus kominikasi. Sedangkan aku bersama ka akmal di beri kesempatan untuk negbrol di teras. “Ade kaget yah?”, tanyanya mengawali obrolan kami dengan sapaan akrabnya padaku. “Kenapa?”, tanyaku. “Ngga nyangka khan yang bakal datang itu kaka?” “Iyah sih, beda banget ma yang di foto. Ade ajah ngga nyadar itu kaka. Udah berubah banget. Lagian, bukanya kaka itu ngga nglanjutin kuliah yah. Terus, dapat dari mana lagi namanya ihsan. Aneh banget.”, tanyaku panjang lebar sambil tersenyum. “Iyah sih, awalnya emang kaka ngga ngelanjutin. Tapi pas stahun lebih kaka di pesantren, kaka ditawarin beasiswa. Ya udah kaka coba ajah. Terus kalau ihsan itu, sebenarnya nama kecil kaka, tapi ngga di masukin ke ijasah soalnya kepanjangan.hehe..” “Siapa emnag namanya?” “Masa lupa sih, nama kaka itu khan Muahammad Akmal Maulana Ihsani.” “Iyah yah. Terus tentang gadis yang minta di khitbah sama kaka gimana?” “Tahu dari mana ade tentang itu?” “Ada deh. Tapi bener khan?” “Iyah sih. Tapi khan ngga jadi, soalnya kaka waktu itu masih ingin focus kuliah. Jadi ngga bisa. Tapi ternyata dianya dah ngga bisa nunggu, ya udah kaka ikhlasin ajah. Akhirnya dia nikah duluan.” “yah, kalau gitu berarti ade bukan yang pertama yah?” “Kata siapa? Khan sekarang mah sudah jadi yang terakhir. Pertamanya khan dulu, akhirnya sekrang, dan tengah-tengahnya...mana tahu...hehe.” “Iih...kaka...”, lakuku manja. Alhamdulillah, beribu syukurku kepada Alloh yang maha pemberi kejutan. Yang telah menghadiahkan dirinya padaku. Semua moment indah ini takan pernah terhapus dalam memory kehidupanku. Semua terkabul saat keikhlasan itu telah menyatu dalam jiwa. Hatiku kembali sejuk seperti daun-daun di dahan pohon yang telah tersirami oleh hujan pagi tadi. Love you... By. Fu’ach
 
cHa's create. Template Design By: SkinCorner