Satu Pesan Terakhir
Suasana
malam di kampung begitu indah dan damai. Di langit bintang dan bulan dengan bahagia
menebarkan kemilaunya. Sungguh, indah sekali. Bunyi kirik jangkrik pun saling
bersahutan. Terdengar merdu di telinga.
Tak tertinggal pula keramaian anak-anak di surau kecil pojok kampung itu. Sungguh
damai terasa.
Sudah
dua hari aku pulang kerumah untuk liburan pra UAS. Dua hari pula aku selalu
pergi bersama teman-temanku. Mereka mengajaku ke acara karnaval di desa kami
selama dua malam ini. Aku pulang sampai rumah paling cepat jam Sembilan.
Seringkali ibu selalu menanyakan kabarku lewat pesan sigkat, namun aku tetap
saja asyik dengan duniaku dan teman-temanku. Tak kuhiraukan bunyi sms di
hapeku, yang sudah ku tebak pasti dari ibu. “mau pulang jam berapa?”, itulah
satu pesan singkat dari ibu. ku jawab dengan sekenanya, “ ngga tahu nanti bu,
gimana temen-temen ajah.”, balasku. Akupun kembali asyik dengan teman-temanku.
Pukul
sepuluh malam, kulihat lampu ruang belakang masih menyala, itu pertanda masih
ada yang belum tidur. Kuketuk pintu itu. Munculah wajah ibu dari balik pintu.
Kulihat ia tersenyum, melihat anak gadisnya pulang. Senyum yang menyejukan
hatiku, menghilangkan rasa takutku sebelumnya, kalu-kalu ibu akan marah karena
kau pulang terlambat lagi. Akupun berjalan masuk dan langsung menuju kamarku.
“sudah
sholat ra?”, ibu kembali mengingatkanku.
“belum
bu, iyah nanti rara istirhat sebentar.”, jawabku.
“sholat
dulu ra, nanti gampang tinggal tidur.”, dengan sabar ibu menanggapi
kemalasanku.
Akhirnya
dengan malas dan rasa dongkol karena ibu yang selalu ngomel, akupun beranjak
dari tempat tidur ke kamar mandi. Kubasuh wajahku, begitu segar.
Akupun
melakasanakan satu kewajibanku malam ini. Dan ibu pun mulai tenang sekarang
karena aku telah melaksanakan satu kewajiban yang tak boleh ditinggalkan
sekalipun. Walaupun aku termasuk remaja yang suka ngelayab kemana-mana, namun
untuk urusan satu ini aku usahakan untuk tidak pernah absen, kecuali jika
memang aku punya halangan yang memang sangat urgent. Aku selalu berusaha untuk
melaksanakanya, walaupun kadang sampai di akhir waktu. Satu pesan ibu yang
takan kulupa selamanya. “tetap laksanaka sholat dimanapun, kapanpun, dan dalam
keadaan bagaimanapun.”
Selesai
sholat isya, setelah merapikan semua anggota badan dan juga ranjang, akupun
bergegas untuk tidur. Masih banyak schedule menumpuk untuk hari esok. Biarpun
aku berencana untuk liburan seminggu ini, tapi dari perasaanku yang paling
dalam aku paling ngga bisa buat ninggalin tugas-tugas aku. Biarpun memang dua
hari ini aku selalu jalan keluar dengan teman-teman lamaku, tapi tetap di
hatiku selalu terfikir tugas-tugas yang menumpuk itu.
Kupaksakan
mataku untuk segera terlelap, namun begitu sulit terasa. Kulihat jam duduk di
mejaku sudah menunjukan hampir tengah malam, pukul setengah dua belas. Mungkin
Karenna terbiasa tidur malam di sana, jadi di kampung pun aku sulit untuk terlelap lebih awal. Ku ambil satu buku
hadiah doorpirize kemaren yang belum sempat ku baca, jadi ku bawa pulang, kali
ajah aku sempat membacanya di rumah. Namun, baru beberapa lembar saja membaca,
pikiranku ternyata sudah tidak konsen lagi. Semua bacaan itu tak ada yang masuk ke otaku.
Akhirnya akupun menyerah. Kubiarkan pikiranku melayang kemanapun mereka mau.
Aku terdiam, entah memikirkan apa. Tiba-tiba aku teringat akan bintang, satu
benda langit kesukaanku. Aku ingat jika tengah malam bintang yang berkilauan
semakin banyak dan sanagt indah. Akhirnya akupun berinisiatif untuk membuka
jendela kamarku, guna melihat bintang itu. Dan ternyata benar saja, saat kubuka
jendela, dan kupandang langit di atas sana, sungguh satu pemandangan yang sangat
menakjubkan. Bintang-bintang itu begitu banyak , membentuk entah rasio apa
saja, tapi ku yakin semua rasio itu pasti akan terlihat pada malam ini. Aku
terlena oleh pemandanagn indah itu, hingga tak terasa ternyata mataku mulai
sayu. Dan aku pun tertidur di jendela, dengan wajah menatap ke luar.
Hembusan
angin pagi membangunanku. Aku terbangun dan kaget, sadar bahwa aku tidur dengan
kepala diluar, akupun segera terjaga dan
kembali ke ranjang. Namun ternyata tuhan berkehendak baik kepadaku. Mataku
sudah tak mau lagi ku ajak tuk terlelap kembali. Hembusan angin pagi yang segar
itu telah membuatku tubuhku segar juga, seolah aku telah beristirahat semalaman
dengan sangat nyenyak. Kulihat jam di mejaku, pukul tiga lebih seperempat.
Akupun pun pergi ke kamar mandi tuk membasuh wajahku. Aku teringat ada seorang
ustad yang bilang bahwa, pada jam jam segini, bagusnya dilakukan untuk sholat
malam, atau sholat tahajud kalau ngga salah. Karena saat itulah kita bisa
mencurahkan semua isi hati kita pada sang rabb. Dan itu juga termasuk sumber
dari pada kesuksesan yang sebenarnya. Akupun berusaha untuk melaksanakannya
dengan ilmu yang aku ketahui. Kurasakan kedamaian yang sangat di hatiku.
Kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Akupun begitu lancar berdoa
dan mencurahkan semua keluh kesah yang selama ini selalu kusimpan dalam hati,
yang sejak dulu sangat sulit untuk kuungkapkan pada siapapun, sekalipun itu
pada ibuku. Namun saat ini, entah mengapa aku begitu lancar mengungkapkanya
pada sang Maha. Hatiku begitu tenang dan plong kurasakan. Tak lupa pula
kupanjatkan doa untuk ibu dan ayah tercinta. Ayah yang telah mengahdapNya beberapa tahun silam,
saat aku kecil.
Setelah
itu, dengan tanpa kuperintahkan tanganku
meraih benda mungil yang hampir paling jarang kusentuh. Mushaf miniku.
Aku pun terlena dengan kalimat-kalima mu’jizat yang sedang kubaca ini. Hatikku
semakin tenang dan damai. Hingga tak terasa adzan subuh telah berkumandang.
Akupun bergegas menuju surau untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Kulihat
ibu mlangkahkan kakinya menuju masjid. Kupun mencoba tuk mensejajari
langkahnya.
“rara,
kamu sudah bangun?”, ibu terlihat kaget melihatku yang tak biasanya bangun
sepagi ini.
“iyah
bu, Alhamdulillah.”, tak kurasa lidahku pun ikut mendukung sikapku pagi ini.
“Alhamdulillah
nak, akhirnya kau bisa juga lebih baik lagi.”
Akupun
tersenyum mendengar pujian ibu. kami melangkah bersamaan menuju surau.
Selepas
sholat subuh, setelah bertadarus beberapa lembar, kucoba tuk membuka notebookku
yang sudah dua hari ini terlantarkan dilemari. Akupun mencoba tuk menulis
apapun yang ada dlaam pikiranku saat ini. Semunya mengalir begitu lancar,
seperti air terjun di pegunungan yang tak ada rintangan sedikitpun. Akhirnya akupun
berhasil menciptakan satu buah cerpen pagi ini. Alhamdulillah.
Tak
terasa dua jam aku berkutat di depan notebook, dan jam sudah menunjukan pukul
tujuh pagi. Aku teringat ibu, aku belum membantunya pagi ini. Aku pun bergegas
membereskan kamarku, dan segera menuju dapur. Kulihat ibu sudah siap dengan
setelan kesayangnya untuk berangkat ke sawah.
“ibu
sudah mau berangkat?”, tanyaku.
“iyah
ra, kamu jaga rumah yah, ibu belum sempat bersih-bersih tadi, jadi tolong
disapukan sama kamu yah.”, pinta ibu lembut.
“iyah
bu, biar nanti rara yang bersihin rumah, maaf tadi rara ngga bisa bantu ibu
masak, rara kelupaan di kamar.”
“iyah
ngga apa, ibu juga ngga banyak ko masaknya, Cuma sayur kangkung dan tempe goreng.
Nanti kalau kamu mau makan, tapi kurang cocok, kamu boleh menggoreng telur,
atau apa saja yang kamu suka.”
“iyah
ibu, makasih yah.”, kucium tangan ibu sambil tersenyum.
“ya
udah sayang, ibu pergi dulu, sudah di tunggu ibu-ibu yang lain di depan sana.”
“
iyah ibu.”
Kupandangi
kepergian ibu, sampai di belokan depan rumah. Selepas ibu pergi, akupun
bergegas untuk membereskan dan membersihkan rumah. Pukul sepuluh pagi semua
pekerjaan itupun akhirnya terselesaikan. Akupun segera mandi untuk menyegarkan
badanku. Selepasnya, setelah sholat duha beberapa rakaat, aku kembali mebuka
notebook. Kucoba tuk menulis lagi. Awalnya mau menyelesaikan tugas yang masih
tertagguhkan, namun ternyata otak belum bisa di ajak untuk berfikir serius,
akhirnya akupun menulis apapun yang ingin kutulis.
Menjelang
duhur, sayup-sayup dari dalam kamar, kudengar adas suara orang mengucapakan
salam dari luar. Akupun keluar untuk memastikan siapa yang bertamu siang-siang
seperti ini. Ternya mang Hamdi, tetangga sebelah rumah.
“waalaikumussalam,
ada apa ya mang?”, tanyaku sambil menjawab salamnya.
“anu
ra, ibu kamu.”, katanya terbata-bata.
Akupun
mulai khawatir, apa yang terjadi pada ibu,kenapa mang hamdi terlihat sangat
khawatir. “ ada apa mang, apa yang tejadi sama ibu?”, tanyaku buru-buru.
“anu
ra, ibu kamu, tadi pas pulang dari sawah, waktu mau nyebrang, keserempet
motor.”, jawabnya.
Akupun
lemas, hatiku entah bicara apa, otaku tak tahu apa yang sendang kupikirkan
sekarang, aku khawatir dan takut hal buruk terjadi pada ibu. aku tekulai lemas
di depan pintu.
“ra.
Kamu ngga pa-pa, sekarang ibu kamu di puskesmas, kalau kamu mau kesana, biar
saya antar pakai sepeda. Ma’lum, saya belum punya motor.”, tawarnya tulus.
Akupun
hanya mengangguk mengiyakan ajakannya. Aku duduk dibelakang sepedanya. Iapun
mengayuh dengan sangat cepat, melebihi kecepatan biasanya. Kulihat di sepanjang
jalan orang-orang melihatku dengan mimic yang sangat mengharukan, memberi
simpati.
Setengah
jam perjalanan menggunakan sepeda mang Hamdi, akhirnya kami sampai di depan
puskesmas desa. Akupun lagsung berlari mencari ibu. namun tak kulihat ada ibu
di ruang pasien. Aku bertemu dengan dokter yang berugas siang itu.
“dok,
lihat ibu saya, ibu yang terserempat motor dari sawah?”, tanyaku.
“owh
ibu Fatimah? Beliau dipindah rawat di
klinik kecamatan, karena lukanya serius.”, jawabnya.
Akupun
segera pergi untuk ke klinik. Kulihat mang Hamdi masih menungguku diluar. “ada
apa neng, ibu imah baik-baik saja?”, tanyanya/
“
ngga tahu mang, ibu di pindah rawat ke kecamatan.”, jawabku cepat.
“gimana
atuh neng, mau amang anter lagi naik sepeda?”
“ngga
usah mang, kecamatan jauh, biar rara naik ojek saja. Mang pulang ajah ngga
apa-apa, kasihaan bi halimah nungguin.
“owh,
ya sudah atuh neng, baik-baik yah neng, kita sama orang kampung pasti doain
yang tebaik buat ibu neng.”
“iyah
mang, terimakasih banyak.”
Akupun
bergegas mencari tukang ojeg terdekat. Alhamdulillah, tak sulit menemukan
tukang ojeg di kampungku, karena kebnyakan warga di sini bermatapencahrian
ojeg, sebagai sambilan saat nganggur di sawah.
Aku
segera menuju ke kecamatan, tempat ibu di rawat. Namun takdir siapa yang tahu.
Sesampainya di klinik kecamatan, kulihat ibu-ibu yang tadi pagi berangkat
kesawah bersama ibu tengah duduk tertunduk di kursi tunggu. Akupun segera
mengahmpiri mereka. Kutanyakan kabar ibu. namun mereka hanya diam dengan wajah
sendu. Tiba-tiba, ibu zainab, teman ibu yang paling dekat dengan ibu memeluku.
Erat.
“ra,
yang sabar yah sayang, semua yang allh berikan pasti yang terbaik buat kita
semua. Alloh tidak akan menyia-nyiakan hambanya di dunia ini.”, katanya.
Akupun
bingung, tak faham apa maksud dari perkataan ibu zainab itu. “ada apa
sebenarnya ibu, apa yang terjadi sama ibu rara”, tanyaku sambil menangis.
Beliaupun
memeluku semakin erat. “sabar yah sayang.”, katanya sambil mengelus pundaku
lagi.
Aku
tersadar.”tidaaaaaakkkkkk, ibuuuuuuuuuuu.”
Aku
segera lari ke kamar tempat ibu dirawat sebelumnya. Kulihat tubuhnya terbujur
kaku, dengan kain putih di atasya. Aku lemas. Lunglai. Aku terduduk dilantai
dengan tangis yang semakin tak bisa kubendung lagi. Ibu zainab pun memasuki
kamar dan memeluku lagi. Dengan penuh keibuan, beliau menenangkanku.
Akhirnya,
setelah aku agak tenang, jenazah ibupun diantar kerumah dengan mobil yang ada
di kecamatan. Belum ada fasilitas ambulance di kampungku saat itu.
Sesampainya
di rumah, kulihat sudah banyak orang yang berkumpul di depan rumah. Kulihat bude
Aisyah dan keluarganya dari kecamatan sebelah telah hadir di antar semua orang
tu. Beliau segera menjemputku detelah kami turun dari mobil, aku dipeluknya begitu
erat.
Selesai
prosesi pemakaman, aku kembali kerumah bersama dengan bude. Hanya budelah
saudara terdekat ibu. satu lagi saudara laki-lakinya tinggal di kalimantan, dan
belum bisa hadir untuk sekarang ini. Ibu adalah anak bungsu dari tiga bersaudar
di keluarganya. Masa hidupnya ia habiskan bersamaku dan almarhum ayah yang
telah lebih dulu berpulang kepadaNya. Kini beliau pun telah menyusul ayah ke
pangkuan sang ilahi.
Akupun
menambah izin pulangku seminggu lagi, Alhamdulillah mendengar kabar buruk yang
terjadi semua dosen bisa memakluminya. Setelah seminggu kepulangan ibu ke rahmatullah,
aku segera kembali ka bandung untuk menyelesaikan tugasku sebagai mahasiswa.
Rumah ku titipkan pada mang hamdi dan bi halimah, tetangga terdekatku. Mungkin
aku akan pulang sebulan sekali untuk menengoknya. Sementara bude aisyah sudah
pulang juga pagi pagi,sama di hari aku berangkat juga.
Sesampainya
di bandung, kurasakan satu kehidupan lain yang masih terasa asing bagiku.
Kehidupan yang belum prnah dan tak pernah ku sangka sebelumnya, bahwa aku akan
menjadi seorang remaja yatim piatu. Ciuman tanganku ada ibu yang terkahir pagi
itu. Juga sms terakhir yang ibu kirimkan malam sebelumnya. Aku pasti akan rindu
dengan sms ibu yang selalu menanyakan kabarku, menanyakan kapan aku akan
pulang, mengingatkanku saat aku sibuk,
untuk beristirahat sejenak, sholat. Aku pasti akan meridukan itu. Pasti
dan sangat.
Ibu,
ayah, terimakasih atas semua yang telah kau berikan padaku, semoga alloh selalu
memberikan kesehatan padamu ibu dan ayah, juga memberikan umur yang panjang.
Terimakasih atas semua kasih sayang yang kaalian curahkan padaku. Cintamu takkan
pernah tergantikan oleh apapun dan siapapun. Kesejukanya, lebih sejuk dari pada
embun di pagi hari. Luasnya, lebih luas dari pada lautan yang Tuhan
persembahkan pada kita di dunia ini. Kaulah segalanya bagiku ibu, kaulah
pelindungku ayah. Takkan ada yang bisa
menggantik kalian u di hatiku. Love you mom and paph. J
From
your daughter in Bandung.
Minggu,
“duapuluhsembilan mei duaribusebelas”
_cHa_
“chaura aL haViny”