Thursday, June 16, 2011

One Last Massage


Satu Pesan Terakhir
Suasana malam di kampung begitu indah dan damai. Di langit bintang dan bulan dengan bahagia menebarkan kemilaunya. Sungguh, indah sekali. Bunyi kirik jangkrik pun saling bersahutan. Terdengar merdu  di telinga. Tak tertinggal pula keramaian anak-anak di surau kecil pojok kampung itu. Sungguh damai terasa.
Sudah dua hari aku pulang kerumah untuk liburan pra UAS. Dua hari pula aku selalu pergi bersama teman-temanku. Mereka mengajaku ke acara karnaval di desa kami selama dua malam ini. Aku pulang sampai rumah paling cepat jam Sembilan. Seringkali ibu selalu menanyakan kabarku lewat pesan sigkat, namun aku tetap saja asyik dengan duniaku dan teman-temanku. Tak kuhiraukan bunyi sms di hapeku, yang sudah ku tebak pasti dari ibu. “mau pulang jam berapa?”, itulah satu pesan singkat dari ibu. ku jawab dengan sekenanya, “ ngga tahu nanti bu, gimana temen-temen ajah.”, balasku. Akupun kembali asyik dengan teman-temanku.
Pukul sepuluh malam, kulihat lampu ruang belakang masih menyala, itu pertanda masih ada yang belum tidur. Kuketuk pintu itu. Munculah wajah ibu dari balik pintu. Kulihat ia tersenyum, melihat anak gadisnya pulang. Senyum yang menyejukan hatiku, menghilangkan rasa takutku sebelumnya, kalu-kalu ibu akan marah karena kau pulang terlambat lagi. Akupun berjalan masuk  dan langsung menuju kamarku.
“sudah sholat ra?”, ibu kembali mengingatkanku.
“belum bu, iyah nanti rara istirhat sebentar.”, jawabku.
“sholat dulu ra, nanti gampang tinggal tidur.”, dengan sabar ibu menanggapi kemalasanku.
Akhirnya dengan malas dan rasa dongkol karena ibu yang selalu ngomel, akupun beranjak dari tempat tidur ke kamar mandi. Kubasuh wajahku, begitu segar.
Akupun melakasanakan satu kewajibanku malam ini. Dan ibu pun mulai tenang sekarang karena aku telah melaksanakan satu kewajiban yang tak boleh ditinggalkan sekalipun. Walaupun aku termasuk remaja yang suka ngelayab kemana-mana, namun untuk urusan satu ini aku usahakan untuk tidak pernah absen, kecuali jika memang aku punya halangan yang memang sangat urgent. Aku selalu berusaha untuk melaksanakanya, walaupun kadang sampai di akhir waktu. Satu pesan ibu yang takan kulupa selamanya. “tetap laksanaka sholat dimanapun, kapanpun, dan dalam keadaan bagaimanapun.”
Selesai sholat isya, setelah merapikan semua anggota badan dan juga ranjang, akupun bergegas untuk tidur. Masih banyak schedule menumpuk untuk hari esok. Biarpun aku berencana untuk liburan seminggu ini, tapi dari perasaanku yang paling dalam aku paling ngga bisa buat ninggalin tugas-tugas aku. Biarpun memang dua hari ini aku selalu jalan keluar dengan teman-teman lamaku, tapi tetap di hatiku selalu terfikir tugas-tugas yang menumpuk itu.
Kupaksakan mataku untuk segera terlelap, namun begitu sulit terasa. Kulihat jam duduk di mejaku sudah menunjukan hampir tengah malam, pukul setengah dua belas. Mungkin Karenna terbiasa tidur malam di sana, jadi di kampung pun aku sulit untuk  terlelap lebih awal. Ku ambil satu buku hadiah doorpirize kemaren yang belum sempat ku baca, jadi ku bawa pulang, kali ajah aku sempat membacanya di rumah. Namun, baru beberapa lembar saja membaca, pikiranku ternyata sudah tidak konsen lagi. Semua  bacaan itu tak ada yang masuk ke otaku. Akhirnya akupun menyerah. Kubiarkan pikiranku melayang kemanapun mereka mau. Aku terdiam, entah memikirkan apa. Tiba-tiba aku teringat akan bintang, satu benda langit kesukaanku. Aku ingat jika tengah malam bintang yang berkilauan semakin banyak dan sanagt indah. Akhirnya akupun berinisiatif untuk membuka jendela kamarku, guna melihat bintang itu. Dan ternyata benar saja, saat kubuka jendela, dan kupandang langit di atas sana, sungguh satu pemandangan yang sangat menakjubkan. Bintang-bintang itu begitu banyak , membentuk entah rasio apa saja, tapi ku yakin semua rasio itu pasti akan terlihat pada malam ini. Aku terlena oleh pemandanagn indah itu, hingga tak terasa ternyata mataku mulai sayu. Dan aku pun tertidur di jendela, dengan wajah menatap ke luar.
Hembusan angin pagi membangunanku. Aku terbangun dan kaget, sadar bahwa aku tidur dengan kepala diluar, akupun segera  terjaga dan kembali ke ranjang. Namun ternyata tuhan berkehendak baik kepadaku. Mataku sudah tak mau lagi ku ajak tuk terlelap kembali. Hembusan angin pagi yang segar itu telah membuatku tubuhku segar juga, seolah aku telah beristirahat semalaman dengan sangat nyenyak. Kulihat jam di mejaku, pukul tiga lebih seperempat. Akupun pun pergi ke kamar mandi tuk membasuh wajahku. Aku teringat ada seorang ustad yang bilang bahwa, pada jam jam segini, bagusnya dilakukan untuk sholat malam, atau sholat tahajud kalau ngga salah. Karena saat itulah kita bisa mencurahkan semua isi hati kita pada sang rabb. Dan itu juga termasuk sumber dari pada kesuksesan yang sebenarnya. Akupun berusaha untuk melaksanakannya dengan ilmu yang aku ketahui. Kurasakan kedamaian yang sangat di hatiku. Kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Akupun begitu lancar berdoa dan mencurahkan semua keluh kesah yang selama ini selalu kusimpan dalam hati, yang sejak dulu sangat sulit untuk kuungkapkan pada siapapun, sekalipun itu pada ibuku. Namun saat ini, entah mengapa aku begitu lancar mengungkapkanya pada sang Maha. Hatiku begitu tenang dan plong kurasakan. Tak lupa pula kupanjatkan doa untuk ibu dan ayah tercinta. Ayah  yang telah mengahdapNya beberapa tahun silam, saat aku kecil.
Setelah itu, dengan tanpa kuperintahkan tanganku  meraih benda mungil yang hampir paling jarang kusentuh. Mushaf miniku. Aku pun terlena dengan kalimat-kalima mu’jizat yang sedang kubaca ini. Hatikku semakin tenang dan damai. Hingga tak terasa adzan subuh telah berkumandang. Akupun bergegas menuju surau untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Kulihat ibu mlangkahkan kakinya menuju masjid. Kupun mencoba tuk mensejajari langkahnya.
“rara, kamu sudah bangun?”, ibu terlihat kaget melihatku yang tak biasanya bangun sepagi ini.
“iyah bu, Alhamdulillah.”, tak kurasa lidahku pun ikut mendukung sikapku pagi ini.
“Alhamdulillah nak, akhirnya kau bisa juga lebih baik lagi.”
Akupun tersenyum mendengar pujian ibu. kami melangkah bersamaan menuju surau.
Selepas sholat subuh, setelah bertadarus beberapa lembar, kucoba tuk membuka notebookku yang sudah dua hari ini terlantarkan dilemari. Akupun mencoba tuk menulis apapun yang ada dlaam pikiranku saat ini. Semunya mengalir begitu lancar, seperti air terjun di pegunungan yang tak ada rintangan sedikitpun. Akhirnya akupun berhasil menciptakan satu buah cerpen pagi ini. Alhamdulillah.
Tak terasa dua jam aku berkutat di depan notebook, dan jam sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Aku teringat ibu, aku belum membantunya pagi ini. Aku pun bergegas membereskan kamarku, dan segera menuju dapur. Kulihat ibu sudah siap dengan setelan kesayangnya untuk berangkat ke sawah.
“ibu sudah mau berangkat?”, tanyaku.
“iyah ra, kamu jaga rumah yah, ibu belum sempat bersih-bersih tadi, jadi tolong disapukan sama kamu yah.”, pinta ibu lembut.
“iyah bu, biar nanti rara yang bersihin rumah, maaf tadi rara ngga bisa bantu ibu masak, rara kelupaan di kamar.”
“iyah ngga apa, ibu juga ngga banyak ko masaknya, Cuma sayur kangkung dan tempe goreng. Nanti kalau kamu mau makan, tapi kurang cocok, kamu boleh menggoreng telur, atau apa saja yang kamu suka.”
“iyah ibu, makasih yah.”, kucium tangan ibu sambil tersenyum.
“ya udah sayang, ibu pergi dulu, sudah di tunggu ibu-ibu yang lain di depan sana.”
“ iyah ibu.”
Kupandangi kepergian ibu, sampai di belokan depan rumah. Selepas ibu pergi, akupun bergegas untuk membereskan dan membersihkan rumah. Pukul sepuluh pagi semua pekerjaan itupun akhirnya terselesaikan. Akupun segera mandi untuk menyegarkan badanku. Selepasnya, setelah sholat duha beberapa rakaat, aku kembali mebuka notebook. Kucoba tuk menulis lagi. Awalnya mau menyelesaikan tugas yang masih tertagguhkan, namun ternyata otak belum bisa di ajak untuk berfikir serius, akhirnya akupun menulis apapun yang ingin kutulis.
Menjelang duhur, sayup-sayup dari dalam kamar, kudengar adas suara orang mengucapakan salam dari luar. Akupun keluar untuk memastikan siapa yang bertamu siang-siang seperti ini. Ternya mang Hamdi, tetangga sebelah rumah.
“waalaikumussalam, ada apa ya mang?”, tanyaku sambil menjawab salamnya.
“anu ra, ibu kamu.”, katanya terbata-bata.
Akupun mulai khawatir, apa yang terjadi pada ibu,kenapa mang hamdi terlihat sangat khawatir. “ ada apa mang, apa yang tejadi sama ibu?”, tanyaku buru-buru.
“anu ra, ibu kamu, tadi pas pulang dari sawah, waktu mau nyebrang, keserempet motor.”, jawabnya.
Akupun lemas, hatiku entah bicara apa, otaku tak tahu apa yang sendang kupikirkan sekarang, aku khawatir dan takut hal buruk terjadi pada ibu. aku tekulai lemas di depan pintu.
“ra. Kamu ngga pa-pa, sekarang ibu kamu di puskesmas, kalau kamu mau kesana, biar saya antar pakai sepeda. Ma’lum, saya belum punya motor.”, tawarnya tulus.
Akupun hanya mengangguk mengiyakan ajakannya. Aku duduk dibelakang sepedanya. Iapun mengayuh dengan sangat cepat, melebihi kecepatan biasanya. Kulihat di sepanjang jalan orang-orang melihatku dengan mimic yang sangat mengharukan, memberi simpati.
Setengah jam perjalanan menggunakan sepeda mang Hamdi, akhirnya kami sampai di depan puskesmas desa. Akupun lagsung berlari mencari ibu. namun tak kulihat ada ibu di ruang pasien. Aku bertemu dengan dokter yang berugas siang itu.
“dok, lihat ibu saya, ibu yang terserempat motor dari sawah?”, tanyaku.
“owh ibu Fatimah? Beliau dipindah rawat di  klinik kecamatan, karena lukanya serius.”, jawabnya.
Akupun segera pergi untuk ke klinik. Kulihat mang Hamdi masih menungguku diluar. “ada apa neng, ibu imah baik-baik saja?”, tanyanya/
“ ngga tahu mang, ibu di pindah rawat ke kecamatan.”, jawabku cepat.
“gimana atuh neng, mau amang anter lagi naik sepeda?”
“ngga usah mang, kecamatan jauh, biar rara naik ojek saja. Mang pulang ajah ngga apa-apa, kasihaan bi halimah nungguin.
“owh, ya sudah atuh neng, baik-baik yah neng, kita sama orang kampung pasti doain yang tebaik buat ibu neng.”
“iyah mang, terimakasih banyak.”
Akupun bergegas mencari tukang ojeg terdekat. Alhamdulillah, tak sulit menemukan tukang ojeg di kampungku, karena kebnyakan warga di sini bermatapencahrian ojeg, sebagai sambilan saat nganggur di sawah.
Aku segera menuju ke kecamatan, tempat ibu di rawat. Namun takdir siapa yang tahu. Sesampainya di klinik kecamatan, kulihat ibu-ibu yang tadi pagi berangkat kesawah bersama ibu tengah duduk tertunduk di kursi tunggu. Akupun segera mengahmpiri mereka. Kutanyakan kabar ibu. namun mereka hanya diam dengan wajah sendu. Tiba-tiba, ibu zainab, teman ibu yang paling dekat dengan ibu memeluku. Erat.
“ra, yang sabar yah sayang, semua yang allh berikan pasti yang terbaik buat kita semua. Alloh tidak akan menyia-nyiakan hambanya di dunia ini.”, katanya.
Akupun bingung, tak faham apa maksud dari perkataan ibu zainab itu. “ada apa sebenarnya ibu, apa yang terjadi sama ibu rara”, tanyaku sambil menangis.
Beliaupun memeluku semakin erat. “sabar yah sayang.”, katanya sambil mengelus pundaku lagi.
Aku tersadar.”tidaaaaaakkkkkk, ibuuuuuuuuuuu.”
Aku segera lari ke kamar tempat ibu dirawat sebelumnya. Kulihat tubuhnya terbujur kaku, dengan kain putih di atasya. Aku lemas. Lunglai. Aku terduduk dilantai dengan tangis yang semakin tak bisa kubendung lagi. Ibu zainab pun memasuki kamar dan memeluku lagi. Dengan penuh keibuan, beliau menenangkanku.
Akhirnya, setelah aku agak tenang, jenazah ibupun diantar kerumah dengan mobil yang ada di kecamatan. Belum ada fasilitas ambulance di kampungku saat itu.
Sesampainya di rumah, kulihat sudah banyak orang yang berkumpul di depan rumah. Kulihat bude Aisyah dan keluarganya dari kecamatan sebelah telah hadir di antar semua orang tu. Beliau segera menjemputku detelah kami turun dari mobil, aku dipeluknya begitu erat.
Selesai prosesi pemakaman, aku kembali kerumah bersama dengan bude. Hanya budelah saudara terdekat ibu. satu lagi saudara laki-lakinya tinggal di kalimantan, dan belum bisa hadir untuk sekarang ini. Ibu adalah anak bungsu dari tiga bersaudar di keluarganya. Masa hidupnya ia habiskan bersamaku dan almarhum ayah yang telah lebih dulu berpulang kepadaNya. Kini beliau pun telah menyusul ayah ke pangkuan sang ilahi.
Akupun menambah izin pulangku seminggu lagi, Alhamdulillah mendengar kabar buruk yang terjadi semua dosen bisa memakluminya. Setelah seminggu kepulangan ibu ke rahmatullah, aku segera kembali ka bandung untuk menyelesaikan tugasku sebagai mahasiswa. Rumah ku titipkan pada mang hamdi dan bi halimah, tetangga terdekatku. Mungkin aku akan pulang sebulan sekali untuk menengoknya. Sementara bude aisyah sudah pulang juga pagi pagi,sama di hari aku berangkat juga.
Sesampainya di bandung, kurasakan satu kehidupan lain yang masih terasa asing bagiku. Kehidupan yang belum prnah dan tak pernah ku sangka sebelumnya, bahwa aku akan menjadi seorang remaja yatim piatu. Ciuman tanganku ada ibu yang terkahir pagi itu. Juga sms terakhir yang ibu kirimkan malam sebelumnya. Aku pasti akan rindu dengan sms ibu yang selalu menanyakan kabarku, menanyakan kapan aku akan pulang, mengingatkanku saat aku sibuk,  untuk beristirahat sejenak, sholat. Aku pasti akan meridukan itu. Pasti dan sangat.
Ibu, ayah, terimakasih atas semua yang telah kau berikan padaku, semoga alloh selalu memberikan kesehatan padamu ibu dan ayah, juga memberikan umur yang panjang. Terimakasih atas semua kasih sayang yang kaalian curahkan padaku. Cintamu takkan pernah tergantikan oleh apapun dan siapapun. Kesejukanya, lebih sejuk dari pada embun di pagi hari. Luasnya, lebih luas dari pada lautan yang Tuhan persembahkan pada kita di dunia ini. Kaulah segalanya bagiku ibu, kaulah pelindungku ayah.  Takkan ada yang bisa menggantik kalian u di hatiku. Love you mom and paph. J
From your daughter in Bandung.
Minggu, “duapuluhsembilan mei duaribusebelas”
_cHa_ “chaura aL haViny”

0 comments:

Post a Comment

 
cHa's create. Template Design By: SkinCorner